Ilustrasi tumbler. Gambar: SheKnows
Geograph.id – Di balik gaya hidup kekinian yang berusaha ramah lingkungan, tren penggunaan tumbler di kalangan Gen Z menyimpan sisi lain yang patut disoroti. Tumbler yang awalnya dipromosikan sebagai solusi pengganti botol plastik sekali pakai kini menjadi bagian dari gaya hidup dan bahkan simbol status sosial. Namun, dorongan untuk selalu mengikuti tren yang dikenal dengan istilah Fear of Missing Out (FOMO) telah memunculkan praktek konsumsi yang justru bertolak belakang dengan semangat keberlanjutan.
Tren Tumbler di Kalangan Gen Z
Di kalangan Gen Z, membawa tumbler bukan sekadar bentuk kepedulian terhadap lingkungan, tapi juga penanda gaya hidup yang kekinian. Munculnya berbagai desain tumbler estetik, edisi terbatas dari brand populer, hingga postingan influencer di media sosial telah memicu lonjakan minat generasi muda. Sayangnya, tren ini sering kali mengaburkan tujuan awal penggunaan tumbler yakni mengurangi limbah plastik.
Tak sedikit yang akhirnya mengoleksi banyak tumbler hanya demi mengikuti tren, bukan karena kebutuhan. Mereka membeli berkali-kali, meskipun sudah memiliki beberapa tumbler serupa. Hal ini menciptakan bentuk konsumsi berlebihan (overconsumption) yang tak jauh berbeda dengan perilaku membeli botol plastik sekali pakai, hanya saja dalam versi “berkelanjutan”.
Ironi Konsumsi dalam Tren Tumbler
Fenomena FOMO tumbler menunjukkan bagaimana tren yang dimulai dengan niat baik bisa berubah arah saat dikendalikan oleh budaya konsumtif. Produksi tumbler dalam jumlah besar tentu membutuhkan sumber daya alam dari bahan logam, plastik, kaca, hingga energi untuk proses manufaktur dan distribusinya. Jika tumbler-tumbler tersebut hanya menjadi koleksi tanpa digunakan secara maksimal, maka jejak karbon dari proses produksinya menjadi sia-sia.
Selain itu, banyak tumbler terbuat dari bahan yang tidak mudah terurai atau sulit didaur ulang jika dibuang sembarangan. Hal ini memperparah persoalan sampah jika pengguna tidak memiliki kesadaran akan siklus hidup produk yang mereka konsumsi.
Pentingnya Edukasi dan Kesadaran Konsumen
Untuk meminimalisir dampak negatif dari tren ini, edukasi menjadi sebuah kunci. Menggunakan tumbler seharusnya bukan tentang tren, tapi tentang komitmen jangka panjang terhadap lingkungan. Masyarakat, terutama Gen Z, perlu diajak memahami bahwa memilih satu tumbler berkualitas dan memakainya berulang kali jauh lebih baik daripada memiliki banyak tapi jarang dipakai.
Platform media sosial juga memiliki peran penting dalam mengubah narasi. Alih-alih mempromosikan gaya hidup konsumtif yang dibungkus sebagai “eco-friendly“, para influencer dan brand sebaiknya lebih menekankan pada praktik penggunaan yang berkelanjutan, seperti kampanye reuse dan recycle.
Langkah Kecil, Dampak Besar
Tren tumbler menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan bisa tumbuh melalui hal-hal kecil dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Namun, agar benar-benar berdampak positif, kesadaran itu perlu dibarengi dengan konsistensi dan tanggung jawab. FOMO memang sulit dihindari, apalagi di era digital yang dipenuhi oleh citra gaya hidup ideal. Tapi jika tren bisa diarahkan dengan cara yang bijak, Gen Z berpotensi menjadi generasi paling peduli terhadap bumi.
Langkah kecil seperti memilih satu tumbler dan menggunakannya terus menerus bisa jadi awal dari kebiasaan yang lebih besar. Saat kesadaran tumbuh dan ditularkan dari satu individu ke komunitas, maka dampaknya akan jauh melampaui sekadar gaya hidup. Ia akan menjadi gerakan. Dan ketika gerakan itu menyebar luas, maka bumi pun akan mendapat ruang untuk bernapas kembali.