Hari Tani Nasional: Menimbang Ulang Pertaruhan Pangan di Negeri Agraris

Pada setiap 24 September, bangsa ini diingatkan pada sebuah ironi yang tak lekang oleh waktu: Indonesia yang kerap disebut sebagai negeri agraris, justru masih bergulat dengan nasib petaninya. Hari Tani Nasional, yang diperingati sejak dekade 1960-an, lahir dari penetapan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, sebuah tonggak hukum yang kala itu dimaksudkan untuk menata ulang distribusi tanah agar lebih adil. Namun, enam dekade berlalu, cita-cita tersebut sering terasa seperti janji yang terjebak dalam buku sejarah, lebih banyak diperingati dengan slogan ketimbang diwujudkan dalam kebijakan.

Sebuah Negeri yang Lupa pada Akar

Indonesia sesungguhnya bertumpu pada tanah dan benih. Lebih dari 29 persen tenaga kerja nasional masih bergantung pada sektor pertanian, namun kontribusi sektor ini terhadap PDB justru terus merosot, berada di bawah 13 persen. Petani, yang seharusnya menjadi tulang punggung ketahanan pangan, sering justru menjadi wajah paling rapuh dalam rantai ekonomi.

Di banyak desa, lahan makin menyempit akibat ekspansi industri, urbanisasi, dan alih fungsi tanah. Anak-anak petani memilih migrasi ke kota dengan harapan kehidupan lebih baik, meninggalkan sawah yang makin jarang berbisik suara cangkul. Ironisnya, negeri yang dikaruniai tanah subur justru masih mengimpor beras, kedelai, hingga bawang putih. Kita seakan melupakan akar yang mestinya menjadi penopang tubuh republik.

Krisis yang Tak Lagi Sunyi

Hari Tani Nasional bukan hanya soal romantisme perjuangan agraria, melainkan juga alarm bagi krisis yang makin mendesak. Perubahan iklim menambah beban: pola tanam terganggu, musim kian tak tertebak, banjir dan kekeringan menghantam ladang. Petani padi di Indramayu misalnya, kini harus berjudi dengan cuaca; satu musim gagal panen berarti jatuh ke jurang utang.

Di sisi lain, harga pupuk melonjak, akses ke bibit unggul terbatas, sementara nilai jual hasil panen ditentukan pasar yang lebih berpihak pada pedagang perantara. Petani kerap terjepit di antara biaya produksi yang tinggi dan harga jual yang rendah, sebuah paradoks yang menggambarkan rapuhnya tata kelola pangan nasional.

Agraria sebagai Soal Kedaulatan

Tak bisa dimungkiri, soal pertanian di Indonesia sejatinya adalah soal kedaulatan. UUPA 1960 pernah lahir dari kesadaran bahwa tanah bukan sekadar komoditas, melainkan ruang hidup. Tetapi realitas di lapangan menunjukkan betapa ketimpangan penguasaan lahan masih menjadi luka lama yang sulit sembuh.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, hingga kini jutaan hektar tanah produktif justru dikuasai oleh segelintir korporasi. Sementara itu, petani kecil menggarap lahan di bawah setengah hektar, sering tanpa kepastian hak. Konflik agraria terjadi di berbagai titik, dari Sumatera hingga Papua, menyingkap pertarungan senyap antara rakyat kecil dan kepentingan besar.

Hari Tani Nasional, dalam konteks ini, bukan sekadar seremonial, melainkan peringatan bahwa kedaulatan pangan tak akan mungkin dicapai tanpa keberpihakan serius kepada petani kecil.

Politik Pangan dan Bayangan Krisis Global

Dalam dunia yang kian terhubung, pertanian tak bisa dilepaskan dari geopolitik. Pandemi Covid-19 sempat membuka mata kita: rantai pasok pangan global begitu rapuh, negara-negara produsen memilih menutup keran ekspor demi melindungi pasar domestik mereka. Indonesia, yang selama ini bergantung pada impor kedelai untuk tahu dan tempe, tiba-tiba merasakan getirnya krisis.

Di tengah gejolak perang Rusia-Ukraina, krisis energi, hingga ancaman El Niño, isu pangan semakin menyerupai bom waktu. Negara-negara mulai menyadari bahwa pangan bukan hanya soal perut, melainkan juga soal strategi bertahan hidup. Pertanyaannya: apakah Indonesia siap menghadapi bayangan krisis ini, atau masih terus menyerahkan nasib petaninya pada mekanisme pasar?

Teknologi Bukan Obat Mujarab

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah banyak mendorong program modernisasi pertanian. Traktor, drone, hingga digitalisasi pemasaran digadang-gadang sebagai jalan keluar. Namun, teknologi tak akan pernah cukup bila masalah mendasarnya (akses lahan, distribusi pupuk, harga jual) tak ditangani dengan serius.

Lebih dari itu, teknologi tanpa pendidikan memadai hanya menciptakan kesenjangan baru. Banyak petani berusia lanjut yang tak terbiasa dengan sistem digital, sementara anak-anak muda yang seharusnya menjadi generasi penerus memilih menjauh dari sawah. Maka, pertanian kita menghadapi ancaman ganda: krisis lahan sekaligus krisis regenerasi.

Menata Narasi, Merawat Harapan

Hari Tani Nasional mestinya menjadi momentum untuk menata ulang narasi tentang petani. Mereka bukan sekadar objek bantuan sosial atau target program, melainkan subjek yang seharusnya duduk di meja perumus kebijakan. Suara petani perlu lebih dari sekadar slogan dalam baliho, melainkan bagian integral dalam desain pembangunan.

Kita sering berbicara tentang “bonus demografi” dan “generasi emas 2045,” tetapi jarang bertanya: siapa yang kelak menanam padi, sayur, dan jagung untuk memberi makan generasi itu? Apakah kita rela menyerahkan masa depan pangan kepada mekanisme impor yang rentan krisis, ataukah kita berani berinvestasi pada mereka yang setiap hari bekerja di tanah yang memberi kita makan?

Sebuah Cermin untuk Bangsa

Hari Tani Nasional, pada akhirnya, adalah sebuah cermin. Di dalamnya kita melihat paradoks antara slogan “negeri agraris” dan kenyataan getir di lapangan. Kita melihat petani sebagai figur yang dijunjung dalam retorika, tetapi sering ditinggalkan dalam praktik. Kita melihat tanah yang semestinya jadi sumber kehidupan, justru kerap diperlakukan sebagai komoditas belaka.

Namun, cermin itu juga memberi harapan. Di banyak desa, komunitas muda mulai kembali ke pertanian organik, menghubungkan produk langsung ke konsumen melalui pasar digital. Di beberapa daerah, koperasi petani membuktikan bahwa solidaritas bisa menjadi jawaban atas cengkeraman tengkulak. Gerakan-gerakan kecil ini mungkin tak menutup semua luka, tapi ia menyalakan lilin di tengah gelap.

Dari Lahan ke Piring

Hari Tani Nasional bukan hanya milik petani. Ia adalah urusan setiap orang yang makan nasi, minum kopi, atau menikmati sayur di meja makan. Dari lahan hingga piring, ada rantai panjang yang bergantung pada keringat petani.

Jika bangsa ini sungguh ingin berdiri di atas kaki sendiri, maka ia harus mulai dari sawah. Sebab kedaulatan bukan hanya soal bendera dan batas negara, melainkan juga soal kemampuan memberi makan rakyatnya tanpa bergantung pada pasar global.

Hari ini, saat kita memperingati Hari Tani Nasional, barangkali inilah pertanyaan paling mendasar: apakah kita sekadar ingin mengingat, atau berani menanam perubahan?

 

#HariTaniNasional2025

#PetaniBerdaulatNegaraSelamat

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *