Kebijakan Lemah, Kerusakan Alam Meningkat

Ilustrasi Bumi yang Rusak. Gambar:contohmu.github.io

Geograph.id – Semakin banyak deforestasi dan pencemaran air akibat aktivitas industri ekstraktif membuat masalah lingkungan Indonesia mengalami kerusakan parah. Data terbaru menunjukkan bahwa kehilangan tutupan hutan dan pencemaran sungai akibat pertambangan terus meningkat. Meskipun demikian, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dianggap belum cukup untuk menangani masalah ini.

 

Deforestasi Mengkhawatirkan

Data terbaru dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa Indonesia akan kehilangan sekitar 6,4 juta hektare hutan hingga tahun 2023. Dibandingkan tahun sebelumnya, angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan. Ekspansi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan nikel merupakan penyebab utama. Meskipun pemerintah berjanji untuk menghentikan deforestasi pada tahun 2030, janji tersebut tampaknya belum terpenuhi. Kurangnya pengawasan dan banyaknya tindakan ilegal justru membuat deforestasi semakin parah di beberapa wilayah, seperti Kalimantan dan Sumatra. Karena kurangnya pengawasan dan banyaknya tindakan ilegal, deforestasi bahkan lebih parah di beberapa daerah, seperti Kalimantan dan Sumatra.

“Kami melihat peningkatan tajam dalam kehilangan tutupan hutan, terutama di Kalimantan dan Sumatra,” ujar Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia. Ia menambahkan bahwa masyarakat lokal mengalami dampak terbesar akibat aktivitas industri yang mengabaikan regulasi lingkungan.

Lebih dari 60% deforestasi terjadi di wilayah yang seharusnya dilindungi, menurut data yang dikumpulkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Perusahaan besar sering kali memanfaatkan celah hukum untuk memperluas lahan industri, yang menyebabkan habitat satwa liar berkurang dan risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor meningkat. Kalimantan Timur, Papua, dan Riau adalah beberapa daerah yang paling terpengaruh.

 

Pencemaran Air Akibat Pertambangan

Pertambangan nikel meningkatkan kerusakan lingkungan di Sulawesi. Limbah tambang membuat air sungai yang dulunya menjadi sumber kehidupan masyarakat berwarna merah kecoklatan. Lebih dari setengah dari sumber air di daerah pertambangan telah tercemar logam berat, menurut organisasi lingkungan WALHI. Selain itu, pencemaran ini mengurangi hasil tangkapan ikan dan merusak terumbu karang di sekitar perairan pesisir.

“Penambangan nikel memang memberikan keuntungan ekonomi, tetapi ekosistem yang sangat berharga juga terancam,” ujar Prof. Emil Salim, pakar lingkungan dari Universitas Indonesia. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara eksploitasi sumber daya dan kelestarian lingkungan.

Masyarakat sekitar merasakan dampak pencemaran air ini secara langsung. Orang-orang yang dulunya bergantung pada sungai untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, dan minum sekarang harus mencari sumber air lain. Selain itu, paparan air yang tercemar dilaporkan menyebabkan peningkatan kasus penyakit kulit dan gangguan pernapasan.

 

Kebijakan Mengelola Kerusakan Lingkungan Masih Lemah

Salah satu kebijakan pemerintah untuk mengatasi kerusakan lingkungan adalah UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mewajibkan perusahaan untuk melakukan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebelum memulai proyek dengan tujuan meningkatkan perencanaan lingkungan. Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi banyak masalah.

Banyak pihak menganggap kebijakan tidak efektif meskipun sudah ada. Ekspansi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan ilegal mengakibatkan kerusakan hutan yang semakin parah. Lebih dari 2.000 izin usaha pertambangan dicabut pada tahun 2022, tetapi masih ada banyak perusahaan yang beroperasi tanpa aturan yang jelas.

Organisasi lingkungan dan akademisi mendesak pemerintah untuk menerapkan sanksi yang lebih keras terhadap mereka yang melanggar, seperti denda besar dan pencabutan izin permanen. Untuk memastikan kebijakan ini bekerja dengan baik dan melindungi lingkungan, penguatan pengawasan dan transparansi izin usaha sangat penting.

 

Krisis Lingkungan di Indonesia Tidak dapat Diabaikan Lagi

Demonstrasi tentang kebijakan lingkungan masih terjadi di banyak tempat. Ribuan orang, didukung oleh organisasi lingkungan, berunjuk rasa di Jakarta pada tahun 2023 untuk menuntut pemerintah untuk menghentikan izin perusahaan tambang yang telah terbukti mencemari sungai Sulawesi. Di sisi lain, masyarakat adat di Kalimantan turun ke jalan untuk memprotes ekspansi perkebunan sawit yang mengancam hutan mereka. Proteste ini menunjukkan betapa pentingnya kebijakan lingkungan yang lebih tegas dan terbuka.

Namun, masyarakat juga dapat membantu menjaga lingkungan dengan mengurangi penggunaan produk berbahan dasar kelapa sawit yang tidak bersertifikat, mendukung bisnis yang menerapkan praktik yang ramah lingkungan, dan berpartisipasi dalam gerakan penghijauan. Jika pemerintah, industri, dan masyarakat bekerja sama, krisis lingkungan di Indonesia dapat ditangani sebelum mencapai titik kritis.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *