
Geograph.id – Apakah dunia benar-benar sedang menuju era ramah lingkungan, atau hanya memoles wajah polusi dalam wujud baru? Ketika kendaraan listrik seperti mobil dan motor melaju tanpa suara, jejak kerusakan justru tertinggal di tempat lain. Mulai dari tambang, pabrik baterai, hingga tumpukan limbah beracun.
Sebuah Solusi Atau Hanya Mengganti Polusi?
Di tengah kekhawatiran global terhadap perubahan iklim dan kualitas udara yang kian memburuk, kendaraan berbasis baterai hadir sebagai jawaban modern atas krisis lingkungan. Mobil dan motor listrik dipandang sebagai jawaban atas ketergantungan manusia terhadap bahan bakar fosil, sekaligus dianggap mampu mengurangi emisi karbon yang memicu pemanasan global.
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai negara berlomba mempermudah akses kendaraan listrik melalui subsidi, insentif pajak, hingga pengembangan infrastruktur pengisian daya. Kampanye besar-besaran tentang pentingnya beralih ke mobil dan motor listrik membuat publik semakin yakin bahwa masa depan transportasi dunia akan lebih bersih dan berkelanjutan.
Namun di balik citra ramah lingkungan yang menempel pada kendaraan berbaterai itu, tersimpan persoalan yang jarang disorot. Proses produksi baterai, kebutuhan listrik yang sebagian besar masih bersumber dari energi fosil, hingga masalah limbah baterai yang sulit terurai, memunculkan pertanyaan baru. Apakah kendaraan listrik sungguh-sungguh solusi untuk krisis lingkungan, atau hanya mengganti bentuk polusi lama dengan wajah yang lebih modern?
Polusi Yang Tersembunyi
-
Produksi Baterai: Tambang Yang Merusak Alam
Baterai lithium-ion adalah jantung mobil dan motor listrik. Untuk memproduksinya, dibutuhkan bahan tambang seperti lithium, kobalt, dan nikel. Mineral yang proses penambangannya kerap menimbulkan kerusakan lingkungan serius, termasuk deforestasi, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem lokal.
Menurut laporan dari The Guardian (2021), proses penambangan lithium di Amerika Selatan memerlukan air dalam jumlah sangat besar. Di wilayah Salar de Atacama, Chile. Ekstraksi lithium menyedot hingga 65% dari seluruh pasokan air di daerah tersebut, yang berdampak buruk pada pertanian lokal dan ekosistem gurun.
Selain itu, terdapat penambangan kobalt di Republik Demokratik Kongo, menyuplai lebih dari 70% kebutuhan dunia. Sering dikaitkan dengan kerusakan lingkungan dan isu pelanggaran hak asasi manusia, termasuk eksploitasi pekerja anak.
-
Emisi Tak Langsung Dari Sumber Listrik
Data dari IEA (International Energy Agency) pada laporan “Indonesia Energy Transition Outlook 2023” menyebutkan bahwa hingga 61% pembangkit listrik di Indonesia masih berbasis batu bara. Artinya, semakin banyak kendaraan listrik, semakin besar kebutuhan listrik. Dan jika transisi energi ke sumber terbarukan berjalan lambat, polusi tetap akan meningkat di hulu.
Sebagai gambaran , untuk membangkitkan energi listrik sebesar 1776 MWyr menggunakan tiga PLTU Batubara, akan dihasilkan emisi CO2 sebesar 16.309 kTon CO2.
-
Limbah Baterai Jadi Ancaman Masa Depan
Baterai lithium-ion memiliki umur pakai terbatas. Belum ada sistem pengelolaan limbah baterai yang benar-benar efisien dan aman di banyak negara, termasuk Indonesia. Jika tidak dikelola dengan baik, baterai bekas bisa mencemari tanah dan air melalui zat berbahaya seperti lithium, kobalt, dan nikel.
Laporan dari UNEP (United Nations Environment Programme) pada 2022 mencatat bahwa limbah baterai kendaraan diperkirakan akan mencapai 12 juta ton secara global pada 2030 jika tidak ada kebijakan daur ulang yang memadai.
Perusahaan seperti Tesla mengklaim dapat mendaur ulang hingga 92% bahan di dalam baterainya dan mengatakan bahwa tidak ada yang berakhir di tempat pembuangan sampah. Meskipun itu mungkin, tapi tidak sepenuhnya akurat.
Jadi, Kendaraan Listrik?
Kendaraan listrik sering kali dipandang sebagai jawaban atas mimpi dunia bebas polusi, sebagai simbol kemajuan teknologi yang selaras dengan lingkungan. Namun, di balik tubuhnya yang hening dan bebas asap knalpot, tersembunyi dampak lingkungan yang tidak kalah serius. Mulai dari tambang yang merusak lanskap alam, pembangkit listrik berbahan bakar fosil, hingga limbah baterai yang belum terpecahkan solusinya.
Transisi menuju kendaraan listrik memang tak bisa dihindari. Namun perlu dipahami bahwa solusi sesungguhnya untuk menjaga bumi tidak hanya bergantung pada apa yang kita kendarai. Melainkan pada bagaimana energi diproduksi, bagaimana bahan baku dikelola, dan bagaimana siklus hidup produk diatur.
Alih-alih bergantung pada satu inovasi, perubahan gaya hidup, kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, serta kesadaran kolektif adalah kunci agar transportasi masa depan benar-benar menjadi solusi, bukan hanya ilusi.