Slow Fashion, Slow Konsumsi

Potret ketimpangan industri fesyen yang menjadi ironi sosial. Gambar: Steal the Look

Geograph.id – Mengimplementasikan slow fashion bukan soal beli baju mahal dari brand sustainable, tapi soal kesadaran, kebiasaan, dan keberanian buat tampil apa adanya.

Apa Itu Fesyen Lambat (Slow Fashion)?

Istilah ‘slow fashion’ pertama kali diperkenalkan oleh Kate Fletcher, profesor di bidang Sustainability, Design, and Fashion dari University of the Arts London. Konsep ini hadir sebagai kritik terhadap fesyen cepat yang mengutamakan tren dan produksi massal tanpa memedulikan lingkungan.

Brand yang benar-benar mengusung fesyen lambat biasanya punya jadwal produksi lebih jarang, koleksi yang lebih kecil, serta tidak terikat pada tren musiman. Beberapa bahkan menerapkan zero waste cutting atau teknik desain yang minim limbah kain. Semangat di balik ini bukan hanya untuk tampil beda, tapi demi mengurangi limbah tekstil yang selama ini jadi salah satu penyumbang terbesar tempat pembuangan akhir.

Namun, fesyen lambat bukan hanya soal mengganti brand fesyen cepat dengan brand yang mengaku sustainable. Ini adalah soal mindset. Gaya hidup yang mengedepankan kualitas dibanding kuantitas, serta kesadaran bahwa setiap keputusan konsumsi punya dampak.

Mindset Bukan Hanya Label

Banyak orang mulai menyebut dirinya penganut fesyen lambat karena merasa sudah “beralih” ke brand-brand lokal atau sustainable. Tapi, jika belanja melulu setiap minggu dan koleksi baju tak pernah berhenti bertambah, itu belum bisa disebut memperlambat industri.

Slow fashion bukan berarti kita harus beli baju baru dari brand mahal, tapi justru gimana kita bisa memakai apa yang kita punya selama mungkin dan merawatnya,” begitu kira-kira semangat yang diusung oleh gerakan ini, dikutip dari akun TikTok @dosen_fashyun yang vokal dalam mengedukasi masyarakat terkait industri fesyen. 

Capsule Wardrobe dan Keberanian Tampil Apa Adanya

Salah satu praktik fesyen lambat yang populer adalah capsule wardrobe, yaitu lemari pakaian yang hanya berisi beberapa item yang benar-benar dibutuhkan, serbaguna, dan bisa dipakai berulang-ulang tanpa kehilangan gaya. Semangat ini jugalah yang sempat dikobarkan oleh komunitas Zero Waste Indonesia (ZID) dengan menyebarluaskan kampanye #MulaiDariLemari. 

Masalahnya, masih banyak orang takut terlihat “itu-itu aja.” Padahal, tampil dengan pakaian yang sama berkali-kali bukanlah hal yang buruk. Justru itu bentuk keberanian dan kesadaran. Karena pada akhirnya, self-awareness adalah kunci.

Fesyen lambat bukan soal siapa yang punya uang lebih untuk beli baju dari brand sustainable. Ini lebih kepada keputusan bijak dalam membeli dan memakai pakaian. Jika punya dana terbatas, justru fesyen lambat bisa jadi penyelamat.  Cukup beli pakaian yang benar-benar perlu, pastikan bisa dipakai lama, dan jangan lupa dirawat agar awet.

Singkatnya, fesyen lambat adalah proses menurunkan kadar belanja, bukan hanya mengganti nama label. Demi memperlambat industri fesyen yang rakus, kita harus mulai dari diri sendiri: sadar, jujur, dan mau berubah.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *