Penjarahan dalam Rumah Sendiri

Tangkapan layar video wawancara Presiden Prabowo Subianto bersama 7 jurnalis di kediamannya.
Tangkapan layar video wawancara Presiden Prabowo Subianto bersama 7 jurnalis di kediamannya. Gambar: CNN Indonesia

Geograph.id– Di negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan alam melimpah. Dari hutan tropis yang luas, laut yang kaya akan biota, hingga gunung-gunung dan tambang yang menyimpan emas, batu bara, dan mineral lainnya. Seharusnya semua itu menjadi modal untuk menyejahterakan rakyat dan diwariskan kepada generasi mendatang. Namun, realitas berkata lain. Kekayaan itu justru menjadi sasaran eksploitasi besar-besaran, dan ironisnya, pelakunya bukan bangsa asing seperti yang sering disebut-sebut, melainkan oleh tangan-tangan mereka yang terlahir dari rahim bumi pertiwi, bak penjarahan dalam rumah sendiri.

Pembangunan yang Melukai Bumi

Atas nama pembangunan, pemerintah terus mengeluarkan kebijakan yang justru membuka jalan lebar bagi eksploitasi lingkungan. Proyek-proyek besar seperti pertambangan, pembangkit listrik, dan perkebunan skala industri diberi izin tanpa mempertimbangkan dampak ekologis maupun sosial yang ditimbulkan. Izin konsesi diberikan begitu saja kepada perusahaan-perusahaan besar, sementara masyarakat lokal harus menanggung akibatnya. Mereka kehilangan tanah, hutan yang dimanfaatkan untuk menyambung hidup pun dirusak, hingga konflik sosial yang tak berkesudahan yang tak jarang merenggut nyama.

Di Kalimantan, tambang batu bara seolah menjadi simbol dari pembangunan yang merusak. Lubang-lubang bekas tambang dibiarkan menganga, mengancam keselamatan warga dan mencemari sungai yang menjadi sumber air bersih. Di Papua, tambang emas dan tembaga terus beroperasi meski sudah berulang kali memicu kerusakan lingkungan dan konflik horizontal. Bukannya membawa manfaat, pembangunan ini justru menyisakan luka dalam di tubuh ibu pertiwi.

Karpet Merah untuk Korporasi

Salah satu kebijakan paling kontroversial yang mempercepat laju kerusakan adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Alih-alih memperketat regulasi, UU ini justru menyederhanakan izin lingkungan, memperlonggar AMDAL, dan bahkan memberikan kekebalan hukum terhadap pelanggaran masa lalu. Industri sawit dan tambang pun merajalela. Hutan-hutan adat yang selama ini dikelola secara lestari oleh masyarakat lokal kini diambil alih korporasi dengan restu negara.

Forest Watch Indonesia mencatat bahwa lebih dari 3,37 juta hektar kawasan hutan telah dikonversi menjadi kebun sawit ilegal. UU ini menjadi alat ampuh pemerintah dan investor untuk mengukuhkan kekuasaan atas lahan, mengesampingkan hak-hak masyarakat adat dan lokal. Di balik janji “menciptakan lapangan kerja,” yang terjadi justru perampasan ruang hidup rakyat.

Rakyat Kecil di Ujung Tanduk

Ketika negara lebih berpihak pada investor, rakyat kecil menjadi korban yang tak berdaya. Komunitas adat kehilangan tanah ulayatnya, nelayan dilarang melaut karena laut telah dikuasai investor, dan petani digusur demi proyek infrastruktur. Di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, misalnya, investor membangun vila mewah di atas laut. Warga lokal bahkan dilarang mengakses pantai yang dulu mereka nikmati turun-temurun.

Pemerintah daerah seolah tak mampu, atau memang tak mau, melawan arus investasi. Bahkan beberapa vila dibangun hingga ratusan meter ke tengah laut, menutup akses para nelayan yang hendak mencari sesuap nasi. Di negeri sendiri, rakyat menjadi tamu. Tanah dan laut yang seharusnya menjadi warisan bersama, kini dipagari dan diperjualbelikan.

Demokrasi yang Tergerus Eksploitasi

Salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan merosotnya kualitas hidup rakyat adalah produk-produk kebijakan yang lahir dari gedung DPR RI. Di saat rakyat menjerit karena bencana ekologis dan kesulitan ekonomi, pemerintah justru mengesahkan regulasi yang pro-investor. Aspirasi rakyat tak lagi didengar, suara mereka dikecilkan, bahkan dibungkam. Demokrasi kehilangan rohnya ketika legislatif hanya menjadi perpanjangan tangan eksekutif demi kepentingan politik sempit.

Secara politik, kondisi ini menunjukkan bahwa sistem kekuasaan di Indonesia sedang mengalami konsolidasi yang mengkhawatirkan. Presiden dan partai politik saling bersinergi untuk mencapai tujuan yang tak selalu berpihak pada rakyat. Kecenderungan ini menciptakan celah bagi kekuasaan yang tak terkendali dan mengikis fungsi check and balance dalam pemerintahan.

Ironi Masa Kini

Penjajahan zaman kini bukan lagi berbentuk agresi militer, melainkan dominasi ekonomi dan kebijakan yang merugikan rakyat. Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru berubah menjadi penjajah dalam bentuk baru. Sumber daya alam dikuasai segelintir elite, sementara rakyat hanya menjadi penonton. Air bersih, udara segar, dan tanah subur kini semakin sulit diakses. Semua demi laba, demi pertumbuhan ekonomi semu yang tak menyentuh kesejahteraan rakyat banyak.

Ketika kekuasaan lebih mementingkan keuntungan jangka pendek daripada kelestarian dan keadilan, maka sejatinya negara telah mengkhianati amanat konstitusi. Bukankah seharusnya kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk memperkaya korporasi?

Mari Berdikari

Di tengah kondisi yang kelam, harapan tak pernah benar-benar padam. Gerakan masyarakat sipil, aktivis lingkungan, komunitas adat, dan jurnalis independen terus menyuarakan kebenaran. Mereka menjadi benteng terakhir untuk menahan laju kehancuran bumi. Mereka mengingatkan bahwa bumi memiliki batas. Ketika alam dipaksa terus memberi tanpa jeda, saat itulah bencana datang menghantam.

Kita semua memegang peran penting dalam menjaga tanah air ini. Sudah saatnya rakyat bangkit, bersatu, dan menagih janji konstitusi. Pemerintah harus kembali ke jalan yang benar: berpihak pada rakyat, melindungi bumi, dan mengelola kekayaan alam dengan adil dan berkelanjutan. Karena jika tidak, maka sejarah akan mencatat bahwa penjajahan terbesar bangsa ini datang bukan dari luar, tapi dari dalam tubuh pemerintahannya sendiri.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *