Bobon Santoso: Persoalan Pangan Orang Asli Papua Harus diatasi Secara Struktural

Gambar: Oposisi Cerdas

Geograph.idYoutuber yang bekerja sama dengan institusi militer memasak dan membagikan makanan kepada orang-orang asli Papua. Dia dianggap menghina adat istiadat orang Papua ketika dia mengatakan bahwa “orang Papua tidak pernah mengonsumsi daging sapi.” Selain itu, tindakannya untuk membagikan makanan dan minuman kemasan yang menjelaskan masalah pangan di Papua.

Antropolog mengatakan bahwa orang asli Papua telah menghadapi masalah pangan struktural selama beberapa dekade. Pakar pertanian menyatakan bahwa masalah kelaparan di Papua terus berlanjut dan belum terselesaikan.

Aksi Bobon Santoso

Pada 28 Januari lalu, YouTuber Bobon Santoso berangkat dari Bali ke Merauke, Papua Selatan. Bobon datang ke Papua untuk memasak dan memberi makan orang-orang yang tinggal di lokasi syutingnya, seperti yang dia lakukan pada beberapa video sebelumnya.

Bobon pergi ke banyak tempat, termasuk Merauke, Boven Digoel, Maybrat, Jayapura, dan Keerom. Dalam seri video ini, Bobon menggambarkan berbagai perjalanan yang dia lakukan sebagai “berbagi kebahagiaan”, mengingat fakta bahwa materi video yang dia buat melibatkan institusi militer.

Dia mengunggah lima video memasak di Papua ke YouTube, dan setidaknya 21 juta orang telah menontonnya. Namun, beberapa pernyataan yang dia buat di siniar Deddy Corbuzier telah menyebabkan banyak diskusi dan dugaan perundungan di media sosial.

“Kalau ada tokoh politik atau artis utama di Papua, tapi di kota, tidak masuk ke pedalaman atau pelosok, itu omong kosong,” ujar Bobon dalam siniar tersebut.

Perkataan Bobon tentang hubungan orang asli Papua dengan daging sapi juga mengundang kritik.

“Mereka tidak pernah makan sapi di sana. Ketika saya masak, mereka senang luar biasa,” ucapnya. “Mereka bilangnya babi besar. Saya bertanya kepada seorang lanjut usia, apakah dia pernah makan sapi. Jawaban dia bukan belum, tapi tidak tahu,” kata Bobon.

Beberapa hari sebelum Bobon terbang ke Papua, hujan deras terus turun di Pegunungan Bintang. Kabupaten ini akan menjadi bagian dari wilayah Papua Pegunungan setelah pemekaran tahun 2022. Kondisi ini menyebabkan banjir dan longsor.

Selama rentetan kejadian itu, setidaknya enam anak tertimbun longsor di Distrik Alemsom, menurut BPBD setempat. Di antara mereka, tiga tewas. Sesaat sebelumnya, anak-anak berusia sekolah dasar itu tengah memetik sayur sukun dan sayur gedi di kebun orang tua mereka, menurut Jubi, media lokal terbesar di Papua.

Kondisi Saat Ini

Gambar: BPBD Pegunungan Bintang dalam Portal Berita BBC Indonesia

Sejak Januari hingga Maret lalu, seorang pendeta di Pegunungan Bintang mengatakan hampir setiap hari turun hujan lebat. Selama tiga bulan pertama tahun ini, hujan di kabupaten pegunungan menyebabkan korban jiwa dan menghancurkan kebun warga.

Pendeta itu menyatakan, “Kalau semua kebun habis terhanyut, tidak ada harapan bagi orang dan keluarga itu.”

Menurutnya, “Kalau sebagian kebun masih ada, itu bisa menjadi harapan dan memberi makan. ”

Pendeta ini meminta agar tidak mengungkap identitasnya untuk tujuan keamanan. Konflik bersenjata antara militer Indonesia dan milisi pro-kemerdekaan telah menyebabkan kekacauan di Pegunungan Bintang, yang merupakan salah satu daerah Papua yang paling tidak stabil.

Gambar: BBC Indonesia

Warga sipil mengalami pengungsian yang meningkat akibat eskalasi konflik pada tahun 2021 dari berbagai distrik, terutama Kiwirok, ke berbagai lokasi, termasuk hutan yang masuk ke wilayah Papua Nugini.

Menurut sang pendeta, bukan hanya cuaca tetapi juga konflik yang menyebabkan kesulitan makan . Dia mengklaim bahwa banyak wanita dan anak mati kelaparan selama melarikan diri di hutan.

“Kami butuh bantuan, tapi saat kami dalam kesulitan itu, tidak ada bantuan makanan yang kami terima. Saat di hutan, kami hanya bisa makan dengan berkebun,” ujarnya.

Dia menyatakan bahwa para pengungsi melarikan diri ke hutan pada tahun 2021 dengan membawa sayur dan ubi. Mereka saling berbagi makanan di tengah kesulitan tersebut berdasarkan budaya lokal yang telah ada sejak lama.

Masyarakat Pegunungan Bintang

Gambar: Kompas.id

Sebelum pemekaran empat provinsi baru, Pegunungan Bintang merupakan kabupaten dengan stunting tertinggi di Provinsi Papua (55,4%) pada tahun 2022. Persentase penduduk miskin ekstrem di Pegunungan Bintang juga tinggi (14,7%).

Pendeta yang kami wawancarai dibesarkan dan dibesarkan di daerah ini. Masyarakat Pegunungan Bintang tetap tidak berubah sejak kecil .

“Makanan kami hanya dari hasil kebun saja: petatas, sayuran, keladi, tebu, singkong, buah merah, jagung, nanas,” katanya.

Orang-orang di Papua bagian pantai mungkin berburu babi hutan karena kami berada di gunung dan hanya berburu tikus dan burung di pohon.

“Kami pergi ke kebun setiap hari. Hari ini panen, kami makan, dan besok kembali ke kebun lagi. Setiap hari begitu saja,” katanya.

Menurut sang pendeta, orang-orang asli Papua yang tinggal di pegunungan menggunakan pola kebun dipindahkan. Artinya, mereka akan menanam tanaman sayur, ubi, dan buah di kebun berikutnya sebelum mereka dapat memperoleh hasil kebun pertama mereka. Dia menegaskan bahwa orang-orang di Pegunungan Bintang menjaga ketersediaan makanan mereka dengan cara ini.

Hanya Babi Yang Bisa Jadi Sumber Makanan

Gambar: Berita Benar

Pendeta ini mengatakan bahwa sebagian orang yang pernah merantau di Pegunungan Bintang mungkin tidak mau kembali ke sana. Di beberapa wilayah Pegunungan Bintang, tidak ada satupun toko atau pasar yang berada hampir di atas awan . Tidak ada yang berternak atau menjual ayam atau daging sapi.

“Kami hanya makan babi, itu budaya kami. Kami pelihara babi secara eksklusif.”

Tidak semua keluarga memiliki babi, tetapi dalam budaya kita, ada kebiasaan untuk berbagi. Jika ada keluarga yang mendapatkan babi, mereka memberikannya kepada keluarga lain.

Kami membakar babi dengan batu dan makan bersama setelah kami mendapatkan babi. Pendeta itu berkata, “Daging habis, sudah, tidak ada yang disimpan.”

Kebun adalah tempat mayoritas penduduk Pegunungan Bintang melakukan aktivitas mereka. Mereka tidak memiliki uang untuk dibayar. Jalan darat tidak dapat mencapai wilayah ini. Setelah itu, kata pendeta, pesawat tiba di distriknya sebulan sekali.

Orang dapat membeli garam yang dibawa pesawat jika mereka memiliki uang. Dia mengatakan, “Kami tetap bergantung pada alam yang Tuhan beri; hidup kami tidak terpengaruh oleh produk buatan pabrik.”

Pendeta ini menyatakan bahwa banyak orang di Pegunungan Bintang masih menginginkan bantuan makanan dari pemerintah, terutama dalam bencana alam dan konflik bersenjata.

Menurutnya, “Kami memerlukan dukungan dari luar. Ketika kami memasuki hutan, tanaman tidak bisa berbuah dengan cepat, jadi kami memerlukan bantuan itu.”

Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah

Gambar: BBC Indonesia

Situasi di Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah, hampir sama. Imam Katolik Distrik Mapia, Pastor Yeskiel Belau, menyatakan bahwa kondisi gizi masyarakat sangat memprihatinkan.

Yeskiel mengatakan bahwa sebagian besar penduduk tidak memiliki pendapatan dan menghabiskan waktu di kebun. Dari kebun itulah mereka mendapatkan makanan pokok seperti keladi, singkong, dan ubi jalar.

Hampir semua orang di distrik itu orang asli Papua, jadi daging babi atau daging ayam hanya dimakan saat ada acara penting.

Menurut Yeskiel, orang-orang yang tinggal di sana jarang makan beras, mi instan, atau ikan asin. Warga tidak memiliki uang, dan mereka jauh dari pasar terdekat.

Yeskiel berkata, “Banyak warga yang mengalami gizi buruk , badan mereka kurus, sakit, lalu meninggal dunia.” Saat dia hidup bersama umatnya dan menjalankan tugas pendetanya, dia melihat situasi itu secara langsung.

Yeskiel berkata, “Pola makan warga di sini tidak teratur. Kebanyakan warga makan hanya karena lapar.”

Ini menunjukkan bahwa mereka makan setiap pagi jika mereka lapar, dan setiap malam jika mereka tidak lapar.

“Biasanya ada persiapan ubi di noken untuk dimakan saat lapar,” katanya.

Kampung Ayae di Distrik Miyah, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya

Gambar: Nabire Net

Orang Papua yang tinggal di pesisir dan di sekitar rawa memiliki kebiasaan turun-temurun untuk makan sagu. Ini berbeda dengan orang Papua di daerah pegunungan.

Namun, sagu memiliki peran dalam mitologi suku-suku pesisir ini selain sebagai bahan makanan. Maxi Sedik, seorang pemuda dari Kampung Ayae di Distrik Miyah, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, menyatakan hal ini.

Maxi mengatakan keluarganya menanam dan memanen sagu sendiri, yang mereka sebut “dusun sagu”. Mereka juga memotret sagu dari hutan sagu alami yang tumbuh tanpa bantuan manusia, seperti yang terlihat di daerah pesisir Papua lainnya.

Maxi mengatakan, “Dalam tradisi kami, setiap marga punya hak terhadap dusun sagu.”

“Orang tidak bisa sembarangan mengambil sagu. Kami harus memastikan kalau sagu yang akan kami tokok bisa memberi gizi.

“Ada pengetahuan tentang mengolah sagu seperti itu di antara orang Tambrauw atau orang Domberai pada umumnya. Kami tidak sembarang tebang,” ujarnya.

Gambar: BBC Indonesia

Maxi mengatakan bahwa orang-orang di kampungnya bergantung pada sagu dan hasil kebun. Pasar terdekat dari Ayae adalah enam jam berjalan kaki.

Dia mengatakan, “Tidak mungkin orang pergi ke pasar yang jauh itu untuk membeli kebutuhan makanan pokok.”

Maxi mengatakan bahwa situasi itu membuat penduduk kampungnya tidak bergantung pada makanan dari luar atau dari pasar.

Maxi mengatakan bahwa sampai kampungnya benar-benar bebas dari aktivitas ekstraktif perusahaan yang mengeksploitasi hutan, alam masih menyediakan sayur dan daging hewan buruan.

“Di kampung saya belum ada perusahaan yang masuk. Tapi di wilayah yang lebih tinggi dari tempat kami, seperti Kebar, mulai ada industri peternakan sapi dan perkebunan jagung.

“Kebun kami selama ini baru terdampak penggusuran proyek jalan Maybrat-Manokwari. Meski saat ini masih relatif aman dari perusahaan, kami tidak tahu ke depan akan seperti apa,” kata Maxi.

Sejauh mana orang asli Papua dapat mempertahankan pangan yang layak

Gambar: BBC Indonesia

Sejauh mana orang asli Papua dapat mempertahankan pangan yang layak, banyak penelitian akademik telah dilakukan. Berbagai penelitian menunjukkan kekhawatiran Maxi Sedik bahwa suatu saat dia dan keluarganya akan kehilangan dusun sagu dan hutan tempat berkebun dan berburu.

Dalam penelitian tahun 2023, antropolog Laksmi Adriani Savitri dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan bahwa orang-orang asli Papua secara bertahap mengalami perubahan pola makan. Karena deforestasi hutan untuk aktivitas perkebunan dan pertambangan, sumber makanan mereka semakin menipis.

Studi kasus di Boven Digoel dan Keerom menunjukkan bahwa “di kabupaten yang mengalami perluasan kebun sawit hingga 20 ribu hektare muncul angka kemiskinan dan stunting di atas rata-rata nasional.”

Hasil penelitian Pastor Sandro Rangga dari Serikat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua juga sebanding. Dia melakukan penyelidikan khusus pada tragedi kekurangan dan kekurangan nutrisi anak-anak di Asmat pada tahun 2018.

Pastor Rangga menulis bahwa pada era Orde Baru, perusahaan memfasilitasi eksploitasi hutan dengan memukimkan sejumlah komunitas di Asmat.

Pendeta Rangga menulis bahwa penduduk Asmat ini mulai menerima beras miskin, atau raskin, selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka juga secara bertahap menurunkan konsumsi sagu mereka. Pada saat yang sama, deforestasi menyebabkan hutan sagu, ulat sagu, tulis, dan kasuari yang biasa mereka makan hilang.

“Degradasi lingkungan ini yang membuat daya tahan orang-orang Asmat terjun bebas—mereka menjadi sangat rentan. Ketika beras raskin tidak didistribusikan ke Asmat, mereka tidak punya opsi sumber pangan karena jumlah pohon sagu dan ubi yang semakin sedikit,” tulis Pastor Rangga.

Bencana Kelaparan

Gambar: Kemensos, BBC Indonesia

Peneliti menggambarkan “bencana kelaparan” sebagai akibat dari kekurangan makanan yang dialami penduduk asli Papua . Tidak ada satu pun peristiwa yang menyebabkan kematian.

Menurut Agus Sumule, seorang pakar pertanian dari Universitas Papua, ribuan orang mengalami kelaparan di Yahukimo sejak tahun 1982, dan 18 di antaranya akhirnya meninggal.

Menurut catatan Agus, sekitar 231 orang meninggal akibat kelaparan di Paniai pada tahun 1984. Agus adalah nama kekeringan yang menyebabkan kegagalan panen ubi jalar di Jayawijaya pada tahun 1997, yang menurunkan 421 orang.

Namun, kelaparan itu tidak menghasilkan hak pangan yang ideal bagi masyarakat Papua.

Agus berkata, “Situasinya masih jauh dari ideal. Masih banyak krisis kelaparan.”

“Di Papua, jangankan anak-anak sekolah, mereka yang datang ke kampus untuk kuliah itu rata-rata tidak makan pagi atau makan siang. Mereka makan satu kali, mungkin di sore hari,” ujarnya.

Dia juga mengatakan bahwa pemerintah harus melakukan sesuatu untuk memastikan bahwa orang asli Papua memiliki cukup makanan.

Agus mengatakan bahwa salah satu caranya adalah dengan memasukkan dan membantu bibit tanaman pangan yang tidak dapat diganti dengan makanan lokal. Selain itu, sejarah menunjukkan bahwa orang asli Papua memiliki kemampuan bertani yang handal dan adaptif, termasuk menanam tanaman impor seperti kecipir, nanas, ubi, dan bahkan kopi.

Bantuan Pemerintah

Gambar: BNPB, BBC Indonesia

Pemerintah daerah, pusat, dan lembaga lain seperti militer dan kepolisian sering membawa makanan yang sangat berbeda dari makanan lokal Papua selama berbagai peristiwa.

Misalnya, pada bulan November 2023, Pemkab Dogiyai memberikan bantuan sembako beras dan mi instan untuk mengurangi kasus stunting. Pada bulan yang sama, Presiden Joko Widodo juga memberikan bantuan beras di Biak, dan dia meminta agar program serupa dilakukan di seluruh Papua.

Pemerintah akan membangun gudang cadangan makanan setelah kelaparan di Kabupaten Puncak, kata Menko PMK Muhadjir Effendy. Dia menyatakan bahwa sebagai tindakan pencegahan, gudang itu akan diisi dengan ubi-ubian dan makanan yang sesuai dengan budaya orang asli Papua. Pemerintah juga akan menempatkan beras di lumbung, menurut Menteri Sosial Tri Rismaharini pada bulan Februari lalu.

Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Provinsi Papua, Semuel Siriwa, menyatakan bahwa pemerintah telah “melakukan pengelolaan dengan baik” terkait deforestasi hutan dan dampaknya terhadap kebun-kebun warga. Melindungi wilayah hutan masyarakat melalui Rancangan Tata Ruang Wilayah, katanya dalam pesan teks.

“Di dalamnya sumber ekonomi bagi masyarakat lokal,” kata Semuel.

Ini Adalah Masalah Struktural

Gambar: BBC Indonesia

Antropolog Laksmi Savitri mengatakan bahwa orang asli Papua menghadapi masalah struktural karena berbagai masalah yang ada. Mereka tidak bisa memilih apa yang mereka makan atau tidak, kata Laksmi.

“Orang Papua lebih suka mi instan. Seakan-akan ini soal selera. Bukan, ini adalah persoalan struktural di mana modernisasi yang ada di depan mata orang Papua yang disimbolkan oleh makanan yang datang dari luar,” kata Laksmi.

“Karena stigma terbelakang atau bodoh menjadi label yang membuat mereka rendah diri, mereka akhirnya mendambakan simbol modern itu, mulai dari makanan, pakaian, bahkan kendaraan. Tujuannya satu: mereka ingin dilihat setara,” ujar Laksmi.

Seorang antropolog di University of Sydney, Sophie Chao, menemukan bahwa perubahan dalam pola makan orang asli Papua terkait erat dengan kekerasan berlatar rasisme dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama beberapa dekade terakhir.

Sophie mengatakan bahwa kebijakan pembangunan yang mengutamakan industri agribisnis dan deforestasi mengikuti dua hal itu. Ia  mengatakan bahwa kombinasi ini menyebabkan nilai-nilai budaya yang hilang dan pola makan yang tidak sehat, setidaknya di tempat penelitiannya di komunitas Marind Anim di Merauke.

Sophie mencatat dalam Volume 26 International Journal of Human Rights pada tahun 2022 bahwa situasi seperti ini dapat disebut sebagai gastrokolonialisme, atau penjajahan atas kedaulatan pangan lokal.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *