Kucing, Sahabat Menggemaskan atau Hama yang Mengancam?

Ilustrasi kucing jalanan. Gambar: Unsplash/Dan Gold

Geograph.idDi sudut taman kota, seekor kucing putih menggerakkan ekornya dengan menggemaskan. Beberapa orang lewat menyempatkan untuk mengelus punggungnya dan memberi makan. Tapi, siapa sangka, makhluk kecil berbulu itu justru menjadi pusat diskursus yang tak pernah habis: antara makhluk lucu atau hama lingkungan?

Peliknya pro dan kontra soal kucing liar memang bukan hal baru, terutama di media sosial. Ada yang secara tegas menyebutnya hama, terutama bila populasinya tak terkendali. Beberapa menyebut bahwa kucing bukanlah ancaman, selama tidak overpopulasi dan merugikan. Di beberapa daerah, ada yang menyebut kucing sebagai penyelamat, karena justru membantu mengusir hama rumah tangga sesungguhnya, tikus. Pernyataan bias menyudahi segala perdebatan tersebut dengan jawaban sentimentil: “Tapi, kucing kan lucu.”

Kenyataannya? Fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. 

Kucing sebagai Hama: Ancaman Ekologis dan Sosial

Dilansir dari Radar Banjarmasin, Indonesia kini menjadi negara dengan populasi kucing terbanyak kedua di dunia, mencapai 15 juta ekor. Pasalnya, kucing bisa mengalami birahi beberapa kali dalam setahun dan melahirkan hingga enam anak dalam satu waktu. Tanpa kontrol, angka ini akan terus melonjak, menciptakan masalah sosial dan ekologis.

Beberapa negara telah mengambil langkah ekstrem. Di Australia, misalnya, kucing liar dinyatakan sebagai hama nasional. Mereka diklaim sebagai penyebab utama kepunahan 24 spesies hewan endemik dan ancaman bagi lebih dari 100 lainnya. Pemerintah sana bahkan menggunakan teknologi pembunuh kucing seperti Felizer grooming trap, gel beracun yang menjebak kucing saat mereka menjilat bulunya. Di Selandia Baru, sejumlah aktivis lingkungan mengusulkan larangan memelihara kucing, sebagai upaya menyelamatkan satwa asli.

Selain membahayakan ekosistem, kucing liar juga membawa risiko kesehatan. Mereka bisa menjadi perantara penyakit seperti toksoplasmosis, rabies, dan cacingan. Perilaku buang air sembarangan juga bisa merusak kebun, taman, dan mencemari tanah dengan bakteri berbahaya. Belum lagi suara gaduh saat musim kawin yang sering membuat warga terganggu di tengah malam.

Salah satu pemicu memburuknya situasi adalah street feeding yang tidak terkontrol. Beberapa dari kita pasti sudah familiar dengan kegiatan ini, terutama yang merasa tidak tegaan dengan kucing liar. Meski niatnya mulia, memberi makan kucing liar tanpa memerhatikan kebersihan bisa membuat lingkungan kotor, bahkan menjadi titik penyebaran penyakit. Lagi-lagi, kegiatan ini bisa menjadi bumerang dan malah merugikan lingkungan sekitar.

Solusi yang Harus Disadari 

Meski masalah ini kompleks, ada satu solusi yang paling rasional dan manusiawi: sterilisasi. Dengan metode TNR (Trap, Neuter, Return/Release), kucing ditangkap, disterilkan, lalu dikembalikan ke habitatnya. Program ini mampu menekan laju populasi kucing tanpa kekerasan. Di Bandung, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) sudah menerapkan steril gratis bagi kucing liar. Hal ini bisa menjadi contoh positif peran pemerintah yang patut diadopsi daerah lain.

Menganggap kucing liar sebagai hama bukan berarti membenarkan tindakan kasar atau penyiksaan. Edukasi kepada masyarakat sangat penting, terutama dalam menyikapi street feeding dan pentingnya sterilisasi. Jika merasa peduli, mulailah dengan tindakan kecil yang berdampak besar: bantu steril, jaga kebersihan, dan sebarkan kesadaran.

Sisi Terang Eksistensi Kucing 

Meski penuh masalah, kucing juga membawa manfaat. Radar Banjarmasin mencatat bahwa kucing bisa membawa positive vibes bagi manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa kucing adalah makhluk terdekat bagi manusia. 

Kucing juga ampuh dalam mengusir hama tikus. Kembali pada kebijakan Australia yang sempat disinggung sebelumnya, upaya membasmi ratusan ribu kucing justru menimbulkan dampak tak terduga. Kasus gagal panen dan kerusakan lahan meningkat karena hilangnya predator alami yang menjaga keseimbangan ekosistem. Artinya, kehadiran kucing tidak selalu membawa kerugian, dalam kondisi tertentu, mereka justru berperan penting dalam membantu manusia.

Pada akhirnya, kucing liar adalah bagian dari ekosistem yang harus diatur, bukan disingkirkan sepenuhnya. Menyelesaikan masalah ini membutuhkan sinergi antara empati, edukasi, dan kebijakan yang bijak.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *