Greenwashing: Ketika Hijau Hanya Jadi Warna, Bukan Komitmen

greenwashing
Ilustrasi kemasan produk ramah lingkungan. Gambar: Pinterest

“Karena di balik setiap label “eco-friendly“, kita berhak bertanya: ramah lingkungan versi siapa?”

Geograph.id – Warna hijau di kemasan, gambar daun kecil di pojok, tulisan “eco-friendly” di tengah, itu semua kini jadi pemandangan umum di rak-rak supermarket. Dari sabun pencuci piring hingga botol air minum, hampir semua berlomba-lomba tampil seolah ramah lingkungan. Tapi dibalik citra hijau itu, ada kenyataan yang tidak selalu seindah klaim.

Sebagai contoh sebuah sabun cair, hampir setiap botol kini tampak “berwarna hijau”. Bukan hanya secara visual, tetapi juga dari klaim yang melekat padanya. Label seperti “eco-friendly”, “natural”, “biodegradable”, atau “aman untuk lingkungan” tampak mencolok seolah memberi jaminan bahwa membeli produk tersebut adalah bentuk kepedulian terhadap bumi.

Namun, pertanyaan penting yang kerap terabaikan adalah: benarkah produk-produk itu se”eco-friendly” yang diklaim?

Fenomena ini dikenal sebagai greenwashing, yaitu strategi pemasaran yang membuat produk atau perusahaan tampak ramah lingkungan padahal sebenarnya tidak. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh aktivis lingkungan pada 1980-an, dan kini menjadi isu global yang semakin kompleks.

Kemasan Hijau Berjejak Abu-Abu

Secara sederhana, greenwashing sering berwujud dalam penggunaan simbol alam, warna hijau, dan kata-kata kunci seperti “alami”, “organik”, atau “eco-safe” yang sering kali tidak disertai bukti ilmiah atau sertifikasi resmi. Banyak produsen hanya mengganti kemasan dengan desain yang ramah di mata, tanpa menyentuh cara produksi yang lebih berkelanjutan.

Misalnya, produk dengan label “biodegradable” bisa saja benar-benar terurai, tapi hanya dalam kondisi industri tertentu yang tidak tersedia di Indonesia. Atau produk bertuliskan “bebas paraben”, padahal bahan pengganti yang digunakan tidak otomatis lebih aman bagi tubuh atau lingkungan.

Lebih parah lagi, produk sekali pakai yang seharusnya menjadi musuh kampanye zero waste, kini dijual dengan embel-embel “eco-friendly“, padahal tidak memberikan dampak positif berarti terhadap lingkungan.

Alasan Greenwashing Semakin Marak

Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya kesadaran konsumen terhadap isu lingkungan. Data Nielsen tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 70% konsumen Indonesia mengaku lebih memilih produk yang dianggap ramah lingkungan. Di sisi lain, tidak semua perusahaan siap melakukan transformasi nyata, sehingga greenwashing jadi jalan pintas.

Tambahan lagi, Indonesia masih kekurangan regulasi tegas yang mengatur standar klaim ramah lingkungan. Badan seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang menyediakan sistem Ekolabel, namun belum menjadi standar wajib bagi seluruh produk. Akibatnya, banyak perusahaan bisa bebas mengklaim “hijau” tanpa perlu bukti atau sertifikasi resmi.

Praktek Greenwashing di Berbagai Bidang Industri

Beberapa perusahaan besar hingga merek lokal kerap menyematkan klaim “green”, “ecofriendly”, atau “dapat didaur ulang” tanpa landasan praktik nyata yang kuat.

Salah satu contohnya datang dari industri fast fashion lokal, yang memasarkan pakaian berbahan rayon atau eco-polyester dengan label “ramah lingkungan”. Padahal, bahan-bahan ini tetap melewati proses kimia panjang dan memerlukan konsumsi air serta energi yang besar. Tanpa sertifikasi seperti GOTS (Global Organic Textile Standard) atau OEKO-TEX, klaim tersebut sulit dibuktikan. Yang ada hanyalah strategi visual dan narasi hijau yang meyakinkan.

Di sektor lain, beberapa produk air minum dalam kemasan mencantumkan logo “dapat didaur ulang” di botol plastiknya. Meski benar secara teknis, nyatanya infrastruktur daur ulang di Indonesia belum merata. Tanpa sistem take-back atau tanggung jawab produsen untuk mengelola limbahnya, sebagian besar kemasan ini tetap berakhir di TPA atau mencemari ekosistem laut.

Mari Jadi Lebih Kritis dan Bertanggung Jawab

Fenomena greenwashing juga harus dilihat sebagai gejala dari krisis komunikasi dalam industri. Antara konsumen yang ingin berbuat baik dan produsen yang ingin tetap untung tanpa mengubah sistemnya. Ini menunjukkan bahwa perubahan tidak bisa diserahkan pada pasar semata.

Pemerintah, media, dan lembaga pendidikan punya tanggung jawab besar untuk memperkuat literasi ekologi masyarakat. Media bisa berperan sebagai pengawas klaim-klaim lingkungan, dan pendidikan bisa membentuk generasi kritis terhadap praktik perusahaan.

Ramah Lingkungan Versi Siapa?

Dalam situasi iklim yang semakin genting, label “ramah lingkungan” bukan sekadar alat jualan. Ia seharusnya menjadi komitmen jangka panjang yang nyata, bukan hanya kosmetik di permukaan kemasan.

Sebagai konsumen, kita perlu berhenti membeli “rasa peduli” dan mulai menuntut bukti. Karena menyelamatkan bumi dimulai dari keputusan-keputusan kecil, termasuk keputusan untuk tidak tertipu oleh kemasan hijau yang menyesatkan.

Karena di balik setiap label “eco-friendly“, kita berhak bertanya: ramah lingkungan versi siapa?

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *