Karpet Merah Menuju Kehancuran Lingkungan

 

Ilustrasi dewi keadilan dalam mitologi Yunani, Themis.
Ilustrasi dewi keadilan dalam mitologi Yunani, Themis. Gambar: Pexel

Geograph.id– Sejak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), kontroversi terus mengiringi implementasinya. Salah satu sorotan utama adalah bagaimana regulasi ini membuka celah bagi legalisasi lahan sawit yang telah terlanjur ditanam di kawasan hutan. Regulasi ini bak karpet merah menuju kehancuran lingkungan. Dalam praktiknya, perusahaan yang sebelumnya dianggap ilegal kini bisa mendapatkan status sah dengan membayar denda administratif. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa UU Ciptaker justru menjadi instrumen ‘pemutihan’ bagi ekspansi sawit yang telah menghancurkan ekosistem hutan Indonesia. 

Golden Ticket untuk Degradasi Hutan

Tumpukan kayu gelondongan hasil penggundulan hutan.
Tumpukan kayu gelondongan hasil penggundulan hutan. Gambar: Pexel

Pemerintah terus menggencarkan investasi melalui berbagai kebijakan, salah satunya dengan pengesahan UU Ciptaker. UU ini diklaim dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan. Namun, di balik janji manisnya, regulasi ini justru memperparah krisis lingkungan dengan melegalkan perambahan hutan untuk perkebunan sawit.

Salah satu pasal kontroversial dalam UU Ciptaker adalah ketentuan yang memberikan pengampunan bagi perusahaan yang telah membuka lahan di kawasan hutan secara ilegal sebelum tahun 2020. Dengan kata lain, lahan yang sebelumnya dianggap sebagai perambahan ilegal kini justru dilegalkan. Hal ini berdampak serius terhadap keberlanjutan ekosistem hutan yang selama ini menjadi benteng pertahanan bagi keanekaragaman hayati dan penyerap karbon alami.

Hutan yang seharusnya dijaga untuk kelestarian lingkungan kini semakin berkurang karena kepentingan ekonomi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga tahun 2022, menunjukkan bahwa lebih dari 3,37 juta hektar kawasan hutan telah dikonversi menjadi perkebunan sawit ilegal. Dengan adanya UU Ciptaker, lahan-lahan ini berpotensi mendapatkan izin resmi, meskipun dampaknya terhadap lingkungan sangat besar.

Dampak Lingkungan yang Tak Terelakkan

Ilustrasi senyawa karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer dan membahayakan lingkungan.
Ilustrasi senyawa karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer. dan membahayakan lingkungan. Gambar: Pixabay

Hutan tropis Indonesia, yang dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia, terus mengalami degradasi akibat deforestasi masif. Industri sawit menjadi salah satu penyebab utama hilangnya jutaan hektar hutan primer. Penelitian oleh Hanna, Raudsepp‐Hearne, dan Bennett (2020) menunjukkan bahwa hutan berperan penting dalam menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer. Ketika hutan ditebang, kapasitas penyerapan CO₂ berkurang drastis, sementara karbon yang tersimpan dalam biomassa pohon dilepaskan kembali ke atmosfer, meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca dan mempercepat pemanasan global.

Dengan diberlakukannya UU Ciptaker, alih-alih memperketat pengawasan, aturan ini justru memberikan kelonggaran kepada perusahaan untuk menghindari sanksi hukum yang lebih berat. Sebelumnya, lahan sawit yang berada di kawasan hutan berstatus ilegal dan bisa dikenakan sanksi pencabutan izin hingga penegakan hukum pidana. Namun, dengan adanya pasal yang mengatur pembayaran denda sebagai solusi, perusahaan cukup membayar sejumlah uang untuk tetap beroperasi. Kebijakan ini dikhawatirkan semakin mendorong praktik perambahan hutan secara besar-besaran, mengingat adanya celah legalisasi di masa depan.

Krisis iklim semakin nyata, namun pemerintah tampaknya masih menutup mata terhadap dampak kebijakan yang mereka buat. Pengesahan UU Ciptaker yang mengakomodasi perampasan lahan hutan demi ekspansi sawit adalah bentuk nyata bahwa kebijakan tidak selalu berpihak pada keberlanjutan lingkungan. Di saat negara-negara lain mulai beralih ke ekonomi hijau, Indonesia justru memberi karpet merah bagi pelaku deforestasi.

Hutan Hilang, Krisis Iklim Mengancam

Mencairnya gletser yang merupakan pertanda perubahan iklim dan berdampak pada lingkungan.
Mencairnya gletser yang merupakan pertanda perubahan iklim dan berdampak pada lingkungan. Gambar: Pixabay

Selain merusak habitat flora dan fauna endemik, konversi hutan menjadi perkebunan sawit juga berkontribusi besar terhadap perubahan iklim. Deforestasi menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar, mempercepat pemanasan global, dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Ironisnya, UU Ciptaker yang seharusnya mengatur investasi berkelanjutan malah memberikan kemudahan bagi industri ekstraktif untuk terus berkembang dengan mengorbankan lingkungan.

Salah satu penyebab dari kerusakan lingkungan hidup dan menurunnya kualitas hidup rakyat adalah produk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan, termasuk salah satunya DPR RI. Kondisi ini terjadi di tengah rakyat membutuhkan upaya cepat dari pemerintah untuk menangani krisis. Secara politik, disahkannya UU Ciptaker juga semakin menambah kelam kondisi sistem politik di Indonesia.

Suara Masyarakat yang Terpinggirkan

Demonstrasi UU Ciptaker di Jakarta, 8 Oktober 2020.
Demonstrasi UU Ciptaker di Jakarta, 8 Oktober 2020. Gambar: Wikipedia

Dengan semakin mudahnya pengusaha mendapatkan izin di kawasan hutan, potensi deforestasi semakin meningkat. Masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada hutan juga semakin terpinggirkan. Alih-alih melindungi hutan dan rakyatnya, kebijakan ini justru membuka jalan bagi korporasi untuk mengeruk keuntungan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan.

Dalam proses penyusunannya, aksi unjuk rasa telah beberapa kali dilakukan masyarakat di berbagai penjuru Indonesia. Seluruh kelompok elemen masyarakat turut menyuarakan keresahannya. Pemerhati lingkungan, akademisi, hingga aktivis HAM telah mengutuk kebijakan ini. Mereka menilai bahwa regulasi tersebut lebih berpihak pada kepentingan korporasi dibandingkan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Sayangnya, suara penolakan ini kerap tidak didengar, bahkan direspons dengan tindakan represif oleh aparat keamanan.

Harapan Akan Regulasi yang Memihak Lingkungan

Sebuah tunas tanaman yang tumbuh menggambarkan harapan akan lingkungan yang kembali hijau.
Sebuah tunas tanaman yang tumbuh menggambarkan harapan akan lingkungan yang kembali hijau. Gambar: Pexel

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menyampaikan pendapatnya mengenai kebijakan ini dalam webinar dengan topik UU Ciptaker. Ia menilai bahwa UU Ciptaker merupakan langkah terakhir yang justru menghancurkan prinsip-prinsip utama dalam tata kelola lingkungan dan sumber daya alam yang baik. 

“Walhi menolak RUU ini karena, setelah kami telaah, secara prinsip dan semangatnya tidak mencerminkan upaya meningkatkan kesejahteraan. Bahkan, meskipun berjudul ‘Cipta Kerja,’ isi dari RUU ini justru bertentangan dengan tujuan tersebut,”

Tanpa adanya revisi kebijakan yang berpihak pada lingkungan, masa depan hutan Indonesia semakin terancam. Di tengah kondisi ini, desakan untuk merevisi dan bahkan mencabut pasal-pasal bermasalah dalam UU Ciptaker terus digaungkan. Solusi yang lebih tegas, seperti penghentian izin baru bagi perkebunan sawit di kawasan hutan dan peningkatan penegakan hukum bagi pelaku deforestasi ilegal, harus menjadi prioritas. Pemerintah diharapkan tidak hanya mengejar investasi semata, tetapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat yang terdampak.

Dengan semua dampak negatif yang ditimbulkan, pertanyaan besar pun muncul: Apakah UU Cipta Kerja benar-benar dirancang untuk kepentingan rakyat, ataukah hanya menjadi alat legalisasi bagi perusakan alam atas nama pertumbuhan ekonomi?

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *