
Geograph.id – Masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, mendesak agar Sorbatua Siallagan, tetua mereka, dibebaskan dari penangkapan polisi pada hari Jumat.
PT Toba Pulp Lestari, perusahaan penghasil bubur kertas, melaporkan Sorbatua atas tuduhan “merusak, menebang, dan membakar” hutan konsesi yang berdekatan dengan wilayah adat masyarakat.
Saat ini, kakek berusia 65 tahun itu ditahan di sel tahanan oleh Kepolisian Provinsi Sumatera Utara. AMAN Tano Batak menganggap penangkapan Sorbatua sebagai bentuk “kriminalisasi” di tengah perjuangan masyarakat atas tanah adat mereka.
Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak mengatakan, “Perusahaan selalu menggunakan metode ini menggunakan institusi kepolisian untuk menghalau, agar masyarakat adat berhenti berjuang untuk tanahnya.”
Salom menyatakan bahwa masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan tidak pernah meminta tanah adat melalui skema perhutanan sosial kepada perusahaan.
Polisi juga membuat pernyataan yang sama. Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi, menyatakan, “Sorbatua tidak memiliki dasar atau hak apapun dalam menggarap atau menguasai kawasan hutan yang merupakan areal konsesi milik PT TPL.”
Polisi menyatakan bahwa Sorbatua dan penduduknya “menguasai lahan milik PT TPL seluas kurang lebih 162 hektare”.
Terlepas dari kasus hukum yang menjerat kakeknya, Veronika Siallagan, cucu dari Sorbatua, menyatakan bahwa dia “tidak akan berhenti berjuang” untuk melindungi tanah adat mereka dari aktivitas perusahaan yang semakin dekat dengan kampung.
“Dari bibir kampung jaraknya hanya 300 meter, dari gereja kami tidak sampai 300 meter. Wajar kami pertahankan, itu tanah nenek nenek nenek moyang kami,” kata Veronika

Apa identitas Sorbatua Siallagan dan kelompok masyarakatnya?
Sorbatua Siallagan, pemimpin masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan di Kampung Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, aktif memperjuangkan hak atas tanah dan hutan.
Dia disebut sebagai anggota aktif berbagai pertemuan dan pertemuan yang menuntut penyelesaian konflik tanah antara PT TPL dan masyarakat.
Veronika melihat kakeknya sebagai panutan masyarakat dalam perjuangan mereka.
Ketua kami, opung kami, selalu semangat dan terus memimpin anak cucunya. Veronika berkata, “Dialah guru kami, panutan kami.”

Sorbatua menanam sayuran dan buah-buahan di hutan yang mereka anggap sebagai hutan adat setiap hari. Mereka hidup dari hasil tanam.
AMAN Tano Batak menyatakan bahwa mereka berasal dari Raja Ompu Umbak Siallagan, yang telah tinggal di sini sejak tahun 1700-an. Orang-orang di daerah ini sekarang adalah dari generasi kesebelas. Mereka telah mengikuti hukum adat sendiri untuk mengelola hutan lindung, yang dalam bahasa mereka dikenal sebagai “Tombak Raja”.
Menurut adat, kayu yang ada di Tombak Raja tidak boleh dibeli atau dijual. Hanya dua pokok kayu yang dapat diambil dari Tombak Raja untuk membangun rumah di Kampung Dolok Parmonangan, dan 20 pokok harus ditanam kembali.
Setelah Indonesia merdeka, sebagian hutan masyarakat Ompu Umbak Siallagan dilindungi. Lasron Sinuran dari AMAN memberi tahu saya di Jakarta pada Kamis (28/03), “Masyarakat merasa disetujui karena kuburan leluhur Ompu Umbak Siallagan masuk ke kawasan hutan yang diklaim sepihak oleh pemerintah.”
PT Toba Pulp Lestari (sebelumnya PT Inti Indorayon Utama) diberi konsesi oleh pemerintah pada tahun 1983 untuk menggarap hutan industri di sekitar daerah tersebut. Secara keseluruhan, PT TPL bertanggung jawab atas 184.486 hektar hutan industri.
AMAN mengklaim bahwa 500 hektare dari total 815 hektare Kampung Dolok Parmonangan termasuk dalam wilayah konsesi perusahaan. Lasron menjelaskan, “Masuknya perusahaan tidak pernah mendapat persetujuan dari komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan.”
Alasan apa Sorbatua ditangkap?
Pada 16 Juni 2023, PT TPL melaporkan Sorbatua atas tuduhan “pengrusakan, penebangan pohon eukaliptus, dan pembakaran lahan yang ditanami perusahaan.”
Dari perspektif perusahaan, masyarakat Sorbatua dan Dompu dianggap “tidak berhak” melakukan kegiatan apa pun di area tersebut karena merupakan bagian dari area konsesi perusahaan. Menurut Salomo Sitohang, juru bicara PT TPL, komunitas Ompu Umbak Siallagan “tidak pernah ada” dalam daftar klaim tanah adat yang disampaikan oleh mereka.
Salomo menyatakan, “Sampai saat ini, TPL hanya menerima sepuluh klaim tanah adat yang telah diselesaikan dengan Kemitraan Pola Perhutanan Sosial. Dari daftar sepuluh klaim tanah adat tersebut, nama Ompu Umbak Siallagan tidak pernah ada.”
“Apabila ada klaim, masyarakat dapat mengajukan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan TPL sangat mematuhi prosedur dan ketentuan yang berlaku terkait masyarakat adat,” sambungnya.
Oleh karena itu, Salomo mengatakan bahwa kasus ini adalah “tindakan kriminal murni yang dilakukan individu”, dan perusahaan “menghormati proses hukum yang berjalan.”
AMAN mengecam pernyataan perusahaan, menyatakan bahwa “tidak seharusnya masyarakat yang hadir lebih dulu harus meminta-minta hak mereka kepada perusahaan.”
Namun, polisi masih menyelidiki kasus itu, terlepas dari pendapat masyarakat adat. Komisaris Besar Hadi Wahyudi, Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, mengatakan mereka telah melayangkan dua panggilan pemeriksaan ke Sorbatua, tetapi dia tidak hadir.
Pada hari Jumat, 22 Maret, Sorbatua kemudian ditangkap oleh polisi, yang mengatakan bahwa mereka memiliki surat perintah penangkapan. Namun, AMAN dan Aliansi Gerak Tutup TPL mengklaim bahwa polisi tidak memiliki surat perintah penangkapan. Disebutkan bahwa Sorbatua sedang pergi membeli pupuk bersama istrinya saat penangkapan terjadi.
“Penangkapannya dengan cara paksa dan tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan. Jadi proses hukum tersangka sampai ditahan sekarang bermasalah,” kata Judianto Simanjuntak dari Aliansi Gerak Tutup TPL.

Aksi protes dari aktivis, pelajar, dan masyarakat adat juga dipicu oleh penangkapan ini. Mereka telah menunjukkan rasa tiga kali di depan Kantor Polisi Sumatera Utara untuk menuntut Sorbatua dibebaskan.
Veronika adalah salah satu yang terlibat. Veronika berkata, “Kami akan terus berjuang sampai bisa bertemu dengan opung, kalau bisa dibebaskan dengan penangguhan terpencil.”
Dia mengatakan bahwa dia khawatir tentang kesehatan kakeknya yang sudah tua.

Di Jakarta, Lasron Sinuran dari AMAN dan beberapa anggota Aliansi Gerak Tutup TPL pergi ke Badan Reserse Kriminal Polri pada hari Kamis, 28 Maret, untuk berbicara dengan polisi untuk mendukung pelestarian Sorbatua.
Namun, dari audiensi itu, tidak ada jaminan dari polisi bahwa Sorbatua yang tersingkir dapat bertahan lama. Selain itu, dia menyatakan bahwa kasus ini merupakan bentuk “intimidasi” dan “kriminalisasi” terhadap masyarakat, dan bahwa aparat kepolisian dianggap “lebih berpihak pada perusahaan”.
Lasron dari AMAN menyatakan, “Kasus ini hanya pemantik sekaligus mengintimidasi komunitas adat lainnya untuk takut. Mereka ini adalah komunitas masyarakat adat yang bersentuhan langsung dengan wilayah adatnya, yang diklaim oleh negara dan diberikan izin kepada TPL.”
Polisi Sumatra Utara membantah tudingan tersebut dengan mengatakan bahwa “proses yang dilakukan sudah sesuai prosedur.”
Hadi meminta masyarakat menggunakan “cara hukum yang baik” terkait persyaratan pembebasan Sorbatua. Semuanya memiliki mekanismenya, praperadilan, pengaduan masyarakat, penangguhan terpencil, dan proses hukumnya. Menurut Hadi, polisi tidak menutup tempat itu karena aturannya, tetapi mereka harus menghindari tindakan jalanan yang pada akhirnya akan menyebabkan keresahan masyarakat.
Hanya ada kata Lawan! Agar tidak diperbudak Perusahaan
Veronika mengatakan bahwa sejak era Orde Baru, masyarakat merasa terganggu dengan kehadiran PT TPL . Hanya saja, pada saat itu, mereka tidak memiliki keberanian untuk menantangnya. Baru-baru ini, masyarakat mengatakan mereka memiliki keberanian untuk melawan, terutama di lahan garapan PT TPL yang ditanami eukaliptus ratusan meter dari kampung mereka.
“Yang kami perjuangkan itu wajar, masih di bibir kampung kami, pekarangan kampung kami,” kata Veronika.
Mengumpulkan buah dan sayuran, lalu menanamnya di tempat yang mereka inginkan adalah bentuk perlawanan masyarakat.
“Itulah yang disebut mereka [perusahaan] kami menduduki lahan, karena kami melawan. Jika kami tidak melawan, perusahaan akan terus menduduki lahan itu. Siap tebang, tanam lagi. Tidak sempat mereka membiarkannya kosong,” jelas Veronika.
Oleh karena itu, mereka sering berkonflik dengan perusahaan dan aparat. Sepanjang tahun 2023, orang-orang ditegur karena tidak beraktivitas di area konsesi perusahaan oleh perwakilan perusahaan dan aparat.
“Setiap kali bertabrakan, kami menjelaskan di tempat kejadian bahwa ada tugu yang sudah berdiri dari tahun 1700-an lebih di Makam Nenek Nenek moyang kami di kaki gunung. Tapi kenapa mereka lebih mendengar TPL?” kata dia.
Dia menyatakan bahwa penduduk Kampung Dolok Parmonangan akan terus berjuang, meskipun mereka saat ini merasa bahwa penegak hukum “lebih berpihak pada perusahaan” dan pemerintah “kurang mendengar” aspirasi mereka.
Masyarakat adat berharap hak atas tanah mereka akan dikembalikan kepada mereka ketika pemerintah mengeluarkan izin konsesi PT TPL.
Faktanya, mereka sudah berusaha mendapatkan pengakuan itu melalui camat, bupati, hingga pemerintah pusat. Selain itu, masyarakat mengidentifikasi wilayah adat mereka, yang kemudian dievaluasi oleh Badan Restorasi Wilayah Adat (BRWA).

Masyarakat Ompu Umbak Siallagan menghubungi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2019 untuk meminta izin konsensi PT TPL untuk wilayah adat mereka. Namun sayangnya, perjuangan mereka belum berhasil sampai saat ini.
“Terakhir kali bertemu dengan Menteri Siti Nurbaya tahun 2021 di Parapat, Bapak Sorbatua di situ. Kami serahkan data-datanya supaya cepat diproses. Pemerintah waktu itu janji akan segera memproses ini, tapi sampai sekarang tidak ada juga,” kata Hengky dari AMAN.
Sorbatua Siallagan Tak Sendiri: Masyarakat Adat di Danau Toba Dihantui Kriminalisasi atas Konflik dengan PT TPL
Konflik dengan PT TPL di sekitar Danau Toba melibatkan banyak pejuang masyarakat adat yang “dikriminalisasi”, termasuk Sorbatua.
Pada tahun 2022, Kompas melaporkan bahwa dalam dua puluh tahun terakhir, 93 masyarakat adat didakwa dan 39 dipenjara. Pengadilan Negeri Balige memberikan vonis tiga tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar kepada seorang pria yang berasal dari suku Tukkonisolu di Desa Porsoburan Barat, Kecamatan Habissaran, Kabupaten Toba pada tahun 2022.
Dia dihukum karena menanam jagung dan kopi di tanah yang dianggap sebagai wilayah adat tetapi tumpang tindih dengan area konsesi PT TPL. Dia kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, di mana Dirman akhirnya dinyatakan tidak bebas dan dibebaskan.
Kasus lainnya melibatkan Jonny Ambarita, seorang masyarakat adat Sihaporas, yang dihukum sembilan bulan penjara karena menganiaya pekerja PT TPL.
Ini merupakan konsekuensi dari upaya mereka untuk mempertahankan tanah adat mereka. Di sisi lain, dugaan kekerasan yang dilakukan pekerja PT TPL terhadap Mario Ambarita, seorang balita, masih belum terselesaikan.

Masyarakat adat juga melapor ke Presiden Joko Widodo pada Agustus 2021 karena konflik berkepanjangan dengan PT TPL. Presiden Joko Widodo mengumumkan komitmennya untuk mengembalikan tanah adat kepada masyarakat adat selama pertemuan di Jakarta.
Selain itu, masyarakat adat dan berbagai LSM menyerahkan dampak operasional PT TPL terhadap kehidupan mereka. Dalam laporan itu , Aliansi Gerak Tutup TPL tidak hanya menimbulkan intimidasi dan kriminalisasi yang menimpa masyarakat adat sekitar, namun juga dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan.
Konsesi PT TPL terletak di daerah tangkapan air Danau Toba, dengan sekitar 34.817 hektar hutan yang diubah menjadi perkebunan eukaliptus, menurut mereka. Ini mengancam sumber air masyarakat sekitar untuk keperluan air minum dan pertanian. Akibat gangguan pasokan udara dari hulu, lebih dari 2.000 hektare lahan pertanian telah beralih fungsi.
Pemerintah tidak efektif melindungi masyarakat adat
Absennya pemerintah untuk melindungi hak masyarakat adat ini, memang akan membuat masyarakat adat semakin terpinggirkan, seperti kasus Bapak Sorbatua ini, Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak menyatakan bahwa sumber konflik ini adalah tidak adanya perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat.
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat belum disetujui hingga saat ini. Perampasan wilayah adat masyarakat masih terjadi di berbagai tempat di Indonesia. AMAN melaporkan 301 kasus perampasan wilayah adat di Indonesia selama lima tahun terakhir. Menurut Hengky, masyarakat pada akhirnya harus bergabung dengan korporasi yang memiliki izin konsesi pemerintah sendiri.
Sementara itu, izin konsesi di kawasan hutan “sering kali” diberikan secara tidak jelas dan tanpa partisipasi masyarakat. Pemerintah tidak memberikan informasi yang terbuka dan tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat adat menjadi korban karena perusahaan tiba-tiba diizinkan oleh pemerintah, kata Hengky.
Absennya pemerintah untuk melindungi hak masyarakat adat ini, memang akan membuat masyarakat adat semakin terpinggirkan, seperti kasus Bapak Sorbatua ini, tutupnya.